Memiliki koleksi 333 varietas pisang, kebun Plasma Nutfah Pisang Yogyakarta menjadi pusat konservasi genetik terbesar, dan satu-satunya yang terlengkap di Indonesia. Selain memiliki peran strategis dalam pelestarian keanekaragaman hayati, pun, menjadi pendukung perekonomian pertanian.
Wagub DIY, KGPAA Paku Alam X mengungkapkan hal demikian pada kunjungan kerja di Kebun Plasma Nutfah Pisang Yogyakarta, Kamis (09/01). Acara di awali dengan Penanaman Pohon Induk dan Panen Pisang varietas unggulan. Sri Paduka menanam varietas pisang Raja Bagus yang menjadi unggulan Kota Yogyakarta, dan memanen pisang jenis Raja Bulu.
Sri Paduka menyebut, kegiatan memiliki arti penting dalam mendukung pelestarian lingkungan. Juga memperkuat ketahanan pangan, khususnya di Kota Yogyakarta. Lebih dari itu, kebun ini berpotensi menjadi pusat inovasi dalam penelitian dan pengembangan varietas unggul yang dapat menghadapi berbagai tantangan, termasuk perubahan iklim yang semakin mendesak.
“Keberhasilan dalam menjaga dan memanfaatkan kebun ini membutuhkan kerja sama dan sinergi dari semua pihak. Pemerintah, akademisi, pelaku usaha, dan masyarakat harus saling mendukung untuk memastikan kebun ini dikelola dengan baik dan memberikan manfaat yang nyata,” papar Sri Paduka.
Dalam kesempatan tersebut, Sri Paduka juga mendorong pemanfaatan teknologi modern, seperti bioteknologi dan digitalisasi. Hal ini dimaksudkan untuk mempercepat pengembangan varietas unggul serta mendukung sistem pertanian berkelanjutan. Selain itu, pemberdayaan masyarakat lokal, khususnya petani, harus menjadi prioritas.
“Petani tidak hanya menjadi bagian dari konservasi, tetapi juga mendapatkan manfaat langsung dari hasil kebun ini. Dengan begitu, kita tidak hanya menjaga lingkungan, tetapi juga memperkuat perekonomian masyarakat,” ujar Sri Paduka.
Sri Paduka yakin, upaya pengembangan pertanian ini akan membawa manfaat besar bagi Kota Yogyakarta dan masyarakat Indonesia. Karena menurut Sri Paduka, menanam pohon pada dasarnya adalah menanam harapan untuk menjadikan lingkungan yang lebih hijau, ketahanan pangan yang lebih kokoh, dan masa depan yang lebih baik bagi generasi mendatang.
“Menanam adalah pengingat akan tanggung jawab kita bersama terhadap lingkungan dan sumber daya alam,” tutup Sri Paduka.
Pj. Walikota Yogyakarta, Sugeng Purwanto mengatakan, Plasma Nutfah Pisang Yogyakarta memiliki luas 2 hektar, dengan jumlah 330 kultivar pisang yang terpelihara dengan baik. Jumlah ini menjadi koleksi terlengkap se-Asia tenggara. Bahkan menurutnya, plasma nutfah ini adalah satu-satunya yang paling lengkap dan terpelihara di Indonesia.
Sebelumnya, plasma nutfah ini diinisiasi oleh Ibu Negara Tien Soeharto. Untuk selanjutnya, Kota Yogyakarta mengembangkan, merawat dan menjaga hingga berkembang dengan baik saat ini.
Menurut Sugeng, di tengah keterbatasan lahan, Kota Yogyakarta memiliki tantangan tersendiri pada pengembangan pertanian.
Pisang sendiri merupakan sumber karbohidrat dari segi manfaat pangan. Selain itu, pisang di dalam budaya jawab juga memiliki tempat tersendiri, yang dipergunakan untuk kelengkapan acara-acara adat. Sementara, secara umum, jenis-jenis pisang yang diperlukan tersebut, sudah semakin langka. Oleh karena itu, keberadaan varietas tersebut dijaga, dilestarikan, dibudidayakan dan disebarkan oleh plasma nutfah.
“Kami upayakan untuk betul-betul semua kultivar yang ada bisa disosialisasikan dan dibantukan. Tentunya, harapan lain adalah sekecil apapun mampu menghasilkan dan menyumbang PAD. Maka kami berharap nanti ada bantuak untuk pemasaran hingga di seluruh Indonesia,” jelas Sugeng.
Plasma Nutfah Pisang Yogyakarta ini sebelumnya telah mendapatkan dukungan dari Dana Keistimewaan sebesar Rp2,5 miliar. Jumlah ini dikelola dengan baik, untuk kontinuitas pengembangan plasma nutfah.
Sugeng dan jajaran ingin menunjukkan bahwa kota Yogyakarta memiliki potensi genetis pengembangan pisang yang dilakukan secara kultur jaringan. Sampai saat ini, pengembangan ini masih berjalan dengan baik. “Semua kultivar yang ada betul-betul masih teridentifikasi dengan sangat baik di sini,” tutur Sugeng.